Barrupos shared

barrupos.com – Paulo Freire adalah ilmuwan dari Brasil yang lahir tahun 1922, beliau digelari Bapak Pendidikan Pembebasan.

Freire mengkritik metode pendidikan yang menjadikan peserta didik seperti bank, sekedar tempat menyimpan ilmu pengetahuan, guru sebagai sumber ilmu sumber kebenaran sebaliknya murid diposisikan sebagai objek yang harus ikut membenarkan apapun yang diajarkan oleh guru.

Menurut Freire metode ini tidak memanusiakan manusia karenanya ia membangun konsep pendidikan sadar masalah, sadar realitas. Guru dan murid sama-sama subjek sadar, sama-sama terlibat aktif dalam pembelajaran objeknya adalah pelajaran, masalah atau realitas itu sendiri. Karena setiap orang bukanlah tabula kosong, mereka punya pemikiran, penilaian sendiri atas sesuatu yg dibentuk oleh pengalamannya masing-masing.

Karenanya pelajaran yang diajarkan juga berhubungan dengan kehidupan peserta didik sehingga menarik dan menyenangkan untuk dieksplorasi.

Paulo Freire membagi kesadaran pada tiga tingkatan. Pertama, kesadaran Magic yg berarti sikap pandangan dipengaruhi oleh faktor dari luar dirinya yang bersifat gaib supranatural. Kedua, kesadaran Naif melihat masalah sebatas manusia itu sendiri. ketiga, kesadaran Kritis melihat penyebab dari masalah sistem.

Dari sini kemudian berkembang sistem pendidikan orang dewasa atau andragogik yang memungkinkan anak Sekolah Dasar (SD) di Eropa bisa berdebat berbantah-bantahan dengan guru dosen bahkan anggota parlemen dengan elegan.

Bandingkan dengan di Indonesia siswa atau mahasiswa tidak atau kurang berani bersuara, mengeluarkan pendapatnya, berbantah-bantahan, berdebat dengan gurunya karena yang berbeda dianggap tidak sopan lebih memilih manut wae kata orang jawa.

Metode ini kemudian juga berimplikasi pada kehidupan sosial politik, orang yang melawan kemapanan memberikan kritik kepada pemerintah dicap sebagai lawan bukan anggota kelompoknya dan harus dimusuhi atau diberi hukuman.

Hal senada disebut Bapak Rocky Gerung tokoh nasional yang menginspirasi gerakan akal sehat mengatakan, dalam dunia berpikir tempatnya mengeksplorasi argumen karenanya harus dibedakan argumen dengan sentimen. Pikiran tidak mengenal sopan santun, pikiran yang disopan santunkan itu namanya kemunafikan.

Barangkali itupula penyebabnya budaya kritik bangsa kita kurang berkembang termasuk pengaruh budaya feodalisme dan kultur bangsa terjajah, 350 tahun oleh Belanda ditambah jepang 3,5 thn, kemudian bangsa sendiri orde lama dan orde baru dengan Undang undang subversif.

Hal ini patut juga diduga berpengaruh pada rasionalitas pemilih pada saat pemilu, visi misi tidak lebih menarik dari isi amplop.

Disisi lainnya kemampuan menerima kritik bagi, guru, dosen, penguasa ataupun pribadi adalah hal yang istimewa. Seseorang merasa direndahkan, terhina bila dinasehati atau dikritik.

Padahal ajaran agama menyuruh kita saling memberi nasehat, karena nasehat bermanfaat bagi orang yg beriman.

Mengapa nasehat bermanfaat bagi orang beriman? Karena orang beriman diberi kemampuan memahami bukan dengan ego, sudut pandang kepentinganya atau hawa nafsunya tetapi tunduk ikut pada kehendak Rabbnya. Nasehat bagi orang mukmin ibarat tanaman yg disiram dg air dan pupuk membuatx tumbuh dg cepat dan kuat.

Makna nasehat atau kritik sejatinya adalah usaha, pikiran sadar, cerdas untuk bersama melakukan perbaikan untuk kemaslahatan agama atau orang banyak.

Sebagai catatan akhir, bahwa metode pendidikan yang diterapkan ternyata pengaruhnya sangat besar bagi pembentukan karakter dan masa depan suatu bangsa, sehingga kita tidak boleh abai. Dari sinilah sesungguhnya jiwa dan pikiran bangsa ini dibentuk, kalau hari ini banyak praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) bukan salah Aparat Penegak Hukum (APH) tanya bagaimana pendidikannya, kalau hari ini generasi rusak moralnya jangan tanya ustadz, tanya bagaimana kualitas pendidikannya mulai pola asuh keluarga, SD sampai Perguruan Tinggi.

Kalau negara hari ini terpuruk tanya bagaimana sistem pendidikannya dan bandingkan dengan negara yang berhasil membemtuk karakter generasinya.

Sehingga membangun generasi cerdas, kritis, sadar atas realita dan berkarakter perlu terus dikembangkan. Model pendidikan yang memanusiakan adalah keniscayaan, dengan memposisikan fasilitator, guru, peserta didik sama- sama sebagai subyek pembelajaran, menghargai pendapat dan perbedaan, membangun budaya kritis, memperbanyak dialog, bukan ceramah, komunikasi dua arah, membentuk karakter sejak usia dini melalui aplikasi/ praktek nilai agama dan kemapuan hidup mandiri, kerja keras bukan sekedar teori saja.

Guru menempatkan diri secara egaliter/setara. Bila hal ini akan merajut kebersamaan, menguatkan persatuan sehingga wujud bangsa atau daerah yg kuat.

Namun semua itu tidak bisa berjalan tanpa perbaikan iman untuk melepaskan pelaku pendidikan, lembaga pendidikan, masyarakat atau penguasa dari kepentingan sesaat atau tendensi pribadi dan golongan sehingga semua bergerak, berkarya satu arah, satu tujuan meninggikan agama Allah dan kemaslahatan ummat. (*)

 

Oleh: MULTAZAM JAMAL Praktisi Pemberdayaan Anak

 

Share:

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Silahkan chat disini
Ada yang bisa kami bantu ?