Barrupos.com-Wacana kepemimpinan presiden-presiden Indonesia mengalami evolusi signifikan sejak era kemerdekaan, mencerminkan perubahan konteks politik, ekonomi, dan sosial yang dihadapi bangsa. Setiap era kepresidenan membawa wacana khasnya sendiri, yang kemudian membentuk arah kebijakan dan prioritas pembangunan nasional.
Analisis wacana kritis terhadap narasi kepresidenan Indonesia mengungkap dinamika kekuasaan, ideologi, dan konteks sosio-politik yang memengaruhi pembentukan wacana dominan di setiap era. Pendekatan ini memungkinkan kita untuk melihat bagaimana bahasa dan narasi digunakan sebagai alat kekuasaan dan legitimasi oleh para pemimpin negara.
Era Soekarno ditandai oleh wacana revolusioner dan antiimperialisme. Melalui kacamata analisis wacana kritis, narasi Soekarno dapat dilihat sebagai upaya membangun identitas nasional pascakolonial dan melegitimasi kekuasaan melalui retorika perjuangan. Slogan “berdikari” menjadi metafora kunci yang menyimbolkan aspirasi kemerdekaan ekonomi dan politik.
Vickers (2005) menggambarkan bagaimana Soekarno menggunakan bahasa yang penuh semangat dan simbolisme untuk memobilisasi massa dan memperkuat posisinya sebagai pemimpin revolusioner. Wacana ini mencerminkan konteks global Perang Dingin dan gerakan nonblok, serta kebutuhan domestik untuk mempersatukan bangsa yang beragam.
Transisi ke era Soeharto membawa pergeseran wacana yang dramatis. Narasi “pembangunan” menjadi hegemonik, menggantikan retorika revolusioner. Analisis wacana kritis mengungkap bagaimana wacana ini digunakan untuk melegitimasi pemerintahan otoriter Orde Baru. “Pembangunan” menjadi kata kunci yang digunakan untuk membenarkan kontrol ketat atas masyarakat dan ekonomi.
Crouch (2007) menganalisis bagaimana rezim Soeharto menggunakan narasi stabilitas dan pertumbuhan ekonomi untuk meredam suara-suara kritis dan mempertahankan kekuasaan. Wacana ini mencerminkan paradigma modernisasi yang dominan pada masa itu dan kepentingan elit ekonomi-politik yang mendukung rezim.
Pascareformasi 1998, wacana bergeser tajam ke arah demokratisasi dan desentralisasi. Era kepemimpinan B.J. Habibie, Abdurrahman Wahid, dan Megawati Soekarnoputri ditandai oleh narasi keterbukaan politik dan pemberantasan korupsi. Analisis wacana kritis menunjukkan bagaimana narasi ini digunakan untuk membangun legitimasi baru pasca kejatuhan Orde Baru.
Aspinall dan Mietzner (2010) mencatat bahwa wacana reformasi menjadi alat untuk menegosiasikan kekuasaan antara elit lama dan baru dalam konteks transisi demokrasi. Penggunaan istilah seperti “transparansi” dan “good governance” mencerminkan pengaruh global terhadap wacana pembangunan di Indonesia.
Era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) membawa narasi “Indonesia yang lebih baik” dengan penekanan pada diplomasi dan citra internasional. Analisis wacana kritis mengungkap bagaimana narasi ini digunakan untuk memposisikan Indonesia dalam tatanan global yang berubah. Penggunaan konsep “thousand friends, zero enemy” mencerminkan upaya untuk memperbaiki citra Indonesia pascakrisis dan membangun legitimasi melalui pengakuan internasional.
Sukma (2012) menganalisis bahwa kebijakan luar negeri SBY lebih menekankan harmoni, mencerminkan kebutuhan untuk menyeimbangkan berbagai kepentingan domestik dan internasional.
Joko Widodo (Jokowi) membawa narasi pragmatis “kerja, kerja, kerja” dan fokus pada infrastruktur. Analisis wacana kritis menunjukkan bagaimana narasi ini digunakan untuk membangun citra pemimpin yang berorientasi hasil dan dekat dengan rakyat. Penggunaan bahasa yang sederhana dan fokus pada proyek-proyek konkret mencerminkan upaya untuk membedakan diri dari elit politik tradisional.
Warburton (2016) melihat bahwa kebijakan Jokowi mencerminkan bentuk baru developmentalisme yang lebih pragmatis dan market-friendly. Wacana ini juga mencerminkan pergeseran global ke arah populisme teknokratis.
Memasuki era Prabowo Subianto (2024-2029), dapat diprediksi bahwa narasi akan bergeser ke arah “kedaulatan nasional” dan “kemandirian ekonomi.” Analisis wacana kritis terhadap prediksi ini perlu mempertimbangkan latar belakang militer Prabowo dan konteks geopolitik yang semakin kompleks. Wacana “Indonesia Berdaulat” kemungkinan akan digunakan untuk melegitimasi kebijakan yang lebih asertif dalam hubungan internasional dan pengelolaan sumber daya alam. Wacana “ekonomi gotong royong” yang diproyeksikan akan menjadi narasi ekonomi Prabowo dapat dilihat sebagai upaya untuk menyintesis nilai-nilai tradisional dengan kebutuhan pembangunan modern.
Analisis wacana kritis perlu melihat bagaimana narasi ini akan digunakan untuk menegosiasikan kepentingan antara negara, sektor swasta, dan masyarakat. Fokus pada kedaulatan pangan dan energi mencerminkan kecenderungan global ke arah proteksionisme dan keamanan nasional. Narasi ini kemungkinan akan digunakan untuk membenarkan kebijakan yang lebih intervensionis dalam sektor-sektor strategis. Penggunaan istilah seperti “swasembada” dan “kemandirian” perlu dilihat dalam konteks persaingan global dan ketegangan geopolitik yang meningkat.
Dalam konteks hubungan internasional, wacana “politik luar negeri bebas-aktif yang berdaulat” mencerminkan upaya untuk memposisikan kembali Indonesia di tengah persaingan kekuatan global. Analisis wacana kritis perlu memperhatikan bagaimana narasi ini akan digunakan untuk menyeimbangkan antara aspirasi kepemimpinan regional dan kebutuhan untuk bekerja sama dengan kekuatan-kekuatan besar.
Tantangan utama dalam analisis wacana kritis terhadap era Prabowo akan terletak pada bagaimana melihat kontinuitas dan perubahan dalam penggunaan bahasa kekuasaan, bagaimana narasi-narasi baru akan digunakan untuk melegitimasi kebijakan dan membangun konsensus di tengah masyarakat yang semakin terpolarisasi.
Perjalanan analisis wacana kritis terhadap wacana presiden Indonesia menunjukkan bahwa setiap era membawa pergeseran signifikan dalam penggunaan bahasa kekuasaan. Dari wacana revolusioner Soekarno ke narasi pembangunan Soeharto, lalu ke wacana reformasi pasca-1998, dan akhirnya ke narasi pragmatisme Jokowi, terlihat bagaimana konteks sosio-politik dan ekonomi membentuk wacana dominan. Evolusi wacana ini mencerminkan perubahan dalam relasi kekuasaan, baik di tingkat domestik maupun global. Setiap presiden menggunakan wacana tertentu untuk membangun legitimasi, memobilisasi dukungan, dan menjustifikasi kebijakan mereka.
Analisis wacana kritis mengungkap bagaimana bahasa tidak hanya mencerminkan realitas, tetapi juga digunakan untuk membentuk realitas sosial dan politik.
Prediksi wacana era Prabowo menunjukkan kemungkinan kembalinya wacana nasionalisme ekonomi dan kedaulatan, namun dalam konteks global yang jauh berbeda. Tantangan analisis wacana kritis ke depan akan terletak pada bagaimana melihat interaksi antara narasi nasional dengan wacana global tentang populisme, proteksionisme, dan pergeseran tatanan dunia. Selain itu, terus-menerus mengkritisi dan mempertanyakan wacana dominan yang dibangun oleh para pemimpin negara. Analisis wacana kritis memungkinkan kita untuk melihat di balik permukaan retorika politik dan memahami dinamika kekuasaan yang lebih dalam. Dengan demikian, kita dapat lebih baik dalam memahami dan merespon perubahan sosial-politik yang terjadi di Indonesia.